Selasa, 16 Oktober 2012

UNGKAPAN JUJUR SEORANG ANAK

Artikel ini dicopas dari Facebook! Perlu dan layak untuk direnungkan oleh para orangtua, semoga bermanfaat.

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.
Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.
Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika:
“Apa yang kamu inginkan ?” Dika hanya menggeleng.
“Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?” tanya saya.
“Biasa-biasa saja” jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.
Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.
Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin ibuku :….”
Dika pun menjawab : “membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja”
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya.
Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku …”
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya “Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu”
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari,seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku tidak …”
Maka Dika menjawab “Menganggapku seperti dirinya”
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak : ..”
Dika pun menjawab “Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa” Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku berbicara tentang …..”
Dika pun menjawab “Berbicara tentang hal-hal yang penting saja”.
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.
Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.
Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang …..”,
Dika pun menuliskan “Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku”.
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku setiap hari …..”
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar “Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap hari ….”
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata: “tersenyum”
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku….”
Dika pun menuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku ..”
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”.
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling” kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice” sebuah seruan yang mengingatkan bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.
Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidakhormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik.


Selasa, 29 Mei 2012

Father & Sons

Ya Tuhan,
Jadikan hamba menjadi Ayah
yang baik bagi anak-anakku
Berikan  hamba hikmat
agar menjadi guru yang bijaksana
Mengajarkan kepada mereka
 tentang hukum dan tauratMu
Membimbing mereka di jalan yang benar,
sesuai FirmanMu

Sediakan berkatMu untuk anak-anakku
Masa depan dan pengharapan mereka
ada di dalam tanganMu
Peliharalah hidup mereka
Agar menjadi anak yang sehat,
kuat dan berani

Terpujilah Engkau Tuhanku,
Yesus Kristus, Juruselamatku

Amin!


Jumat, 24 Februari 2012

Tiruan Na Denggan

Di na sahali, di ida anakhu siangkangan (2,3 taon) i do ahu mamutar volume ni tape/radio marhite jari ni pathu, ala tongon marompa anggina. Songon na haduk huhilala pangke tangan ala na marompa i, i do umbahen jari ni simanjojak (pat) hubahen pametmethon volume ni tape/radio i.
Hape, di nasopanagamanhu gabe diihuthon anakhu siangkangan i do. Molo husuru pametmethon volume ni radio, sai patna ma dibahen maniru songon na hubahen i. Nang pe nioraan, tong sai didatdati patna dibahen.
Bah... nga sala be. Ndang siulahonon hape na hurang denggan di jolo ni anakhon. Ai i niulahon, i do diihuthon.
Titus 2:7
Sandok pajongjong dirim tiruan di angka ulaon na denggan,
polin di pangajarion, marhatomanon.

Rabu, 01 Februari 2012

Mohon Maaf, Iklan Reseh!

Aneka iklan yang ada pada blog ini tanpa sengaja mungkin kurang pas di hati pengunjung.
Saya mohon maaf, akhir-akhir ini iklan dan gambarnya berbau seks melulu.
Padahal, awalnya saya mencantumkan iklan tersebut hanya yang bermutu dan membangun.
Dengan ini Saya akan menghapus iklan-iklan tersebut agar tidak merusak pemandangan atas blog ini.
Sekali lagi Saya mohon maaf. Atas pengertian pengunjung yang terhormat saya ucapkan terimakasih.

Salam

Zending Sinurat

Rabu, 11 Januari 2012

Dung Hutanda Portibi Ni Si "MAYA"


Molo so silap ahu, di taon 2003 ma sai giot rohangku mananda portibi ni si 'maya' on. Di Lubuk Pakam ma on masa, uju marhobas di HKBP Petapahan Nauli. Markomputer pe so pola huantusi dope uju i (ia so holan manurat di word, i pe manual dope). Pinangido ma pangurupion sian sahalak naposobulung asa dipatandahon tu ahu songon dia do mambuka internet. Mansai arga dope tingki i "warung internet" (warnet) 8000 sajom, molo so sala parningotanku :-). Loahon situtu do iba tingki i, boha ma ai so niantusan. Pinarsiajaran ma mambuka situs. Huingot dope situs na parjolo hubuka tingki i, "terangdunia.com". Jala mintor pinarsiajaran ma mambahen "akun email" sian yahoo.com.
Gabe sir ma roha tahe pabagashon parbinotoan taringot tu internet i. Alai ala hurang dope fasilitas jala mardomu dao jala arga tu warnet, gabe olo ma dua manang tolu bulan nibuka muse internet. Hape akun email yahoo molo tolu bulan ndang di 'update' mintor mago do. Alai tutu, dasorniba mambuka internet nunga adong sasaotik.
Dung pinda ahu tu Bogor, disi ma muse hupabagas parbinotoanhu taringot tu komputer dohot internet. Sude marsiajar dibagasan do. Tingki marsiajar mambahen blog, sahalak lulusan DEL ma patandahon tu ahu. I pe holan sahali do hami diajari di warnet. Dungkon nii marsiajar sandiri ma (otodidak).
Sian i muse hutanda ma na ginoaran sinuaeng "jejaring sosial" i ma "Friendster" (nunga tarhapus be akun on ala leleng ndang di update). Sian Friendster humousor ma roha tu Facebook na mansai ribur nuaeng. Uju i (di Bogor) ndang songon mura ni sinuaeng mambuka internet. Ingkon tu warnet dope. Alai ala ni hagiot na mansai doras, ndang parduli be iba, sampe tonga borngin pe taho di warnet. Loak do nian molo niingot.
Tangkas do binoto adong do lobi-hurang ni portibi ni si "maya" on. Molo na ringgas mar-facebook olo do lupa di tingki. Molo sapala 'candu' olo do manipat sadari holan na di jolo ni komputer. Tarlumobi nuaeng, ala nunga mansai mura bukaon marhite 'henpon'. Mansai gogo do panaitna pasudahon tingki. Olo ma lola ulaon. Sandok molo so tarrajaan diri, lam sega do. Songon i do nang angka parsingkola, lalap do ala ni 'game online'. Eh tahe...
Adong hian do sangkap dung hutanda na margoar "blog" manang "website", lam ringgas ma manurat. Manurat manang aha pe taho i. Anggiat nian lam boi pinatajom bakat manang talentaniba. Hape tong do so ra tamba ni hilala parbinotoan manurat. Di 'blog pribadi' on ma nian boi lam pinatudu hadirionniba marhite guritgurit ni tangan. Hape sahat tu nuaeng so adong dope hamajuon.
Bahen ma bah, asal ma unang hatinggalan jaman manang didok pandita gaptek ate. Anggiat ma talenta on boi dipahembang. Tu angka dongan pe arahononku do, taihuthon ma hamajuon ni jaman na mansai hatop mubauba on. Sotung gabe hatinggalan jaman hita didok gaptek. I ma jolo saotik partinandaan niba taringot tu si 'maya' on. Horas!